Kesehatan tanah, mengacu pada kapasitas berfungsinya tanah sebagai ekosistem kehidupan penting yang menopang tanaman, hewan, dan manusia, kini telah menjadi salah satu komponen penting kerangka global yang disebut sebagai “One Health”. Kesehatan tanah telah diusulkan sebagai prinsip menyeluruh yang berkontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), seperti Netralitas Degradasi Lahan dan Konvensi Keanekaragaman Hayati. Hal ini mencakup skala, pemangku kepentingan, fungsi, alat penilaian yang relevan dengan kualitas dan kesuburan tanah, dan kaitannya dengan dimensi kebijakan ketahanan tanah. Mengukur kesehatan tanah penting untuk menilai dan mengarahkan strategi pengelolaan tanah. Salinisasi atau sodifikasi dapat disebabkan oleh faktor alam, seperti pelapukan mineral, angin laut, dan intrusi air laut, serta aktivitas manusia, termasuk penggembalaan berlebihan, penggundulan hutan, buruknya pengelolaan lahan dan air, serta irigasi dengan air asin. Salinisasi atau sodifikasi telah menyebabkan sebagian besar tanah terkena dampak garam secara global, termasuk tanah salin, sodik salin, dan sodik. Tanah yang terkena dampak garam terdapat di mana-mana di wilayah kering hingga semi-kering, zona dingin dan beriklim sedang hingga subtropis dan tropis, dengan luas sekitar 10,3 × 10 8 ha di seluruh dunia. Sayangnya, hal ini berdampak buruk pada 20% dari total lahan pertanian dan 33% lahan irigasi global untuk produksi pangan. Dari jumlah tersebut, tanah salin sekunder diperkirakan menempati area seluas sekitar 7,7 × 10 7 ha lahan budidaya yang berasal dari proses yang disebabkan oleh manusia seperti pengelolaan air dan praktik irigasi yang buruk. Selain itu, 50% lahan pertanian akan hilang pada tahun 2050 karena salinisasi/ sodifikasi tanah. Tanah yang terkena dampak tanah mengandung sejumlah besar garam yang dapat larut (tanah salin), natrium yang dapat ditukar (tanah sodik) atau keduanya (tanah sodik salin) dan umumnya kehilangan multifungsi seperti produktivitas primer, pasokan nutrisi, pemeliharaan keanekaragaman hayati dan penyerapan karbon. Oleh karena itu, memulihkan dan menjaga multifungsi tanah yang terkena dampak garam merupakan hal yang sangat mendesak untuk mencapai SDGs dan netralitas karbon global.
Upaya berkelanjutan dengan sejarah panjang telah diarahkan untuk mereklamasi tanah yang terkena dampak garam dengan menggunakan pendekatan yang berbeda. Namun, pendekatan tradisional ini memiliki kelemahan berupa biaya tinggi, efisiensi rendah, dan jejak karbon tinggi dalam konteks perubahan iklim. Biochar, sejenis bahan karbon dengan aroma tinggi dipirolisis dari berbagai biomassa (misalnya, residu pertanian, limbah kehutanan, limbah perkotaan) pada suhu yang relatif rendah (< 700 °C) dalam kondisi terbatas oksigen, dapat menjadi solusi karbon negatif yang menjanjikan untuk meremediasi tanah yang terkena dampak garam. Biochar, yang terkenal sangat stabil, memiliki struktur berpori yang kaya dengan gugus fungsi permukaan, telah dipelajari secara ekstensif untuk penyerapan karbon dan peningkatan kesehatan tanah. Sejak biochar diperkenalkan pertama kali pada tanah yang terkena dampak garam pada tahun 2009, semakin banyak penelitian yang menaruh perhatian pada remediasi tanah yang terkena dampak garam dengan menggunakan biochar di seluruh dunia dalam lima tahun terakhir. Dari 10 negara teratas, Tiongkok, Pakistan, Mesir, Iran, Arab Saudi, Amerika Serikat, Australia, India, Jerman, dan Turki, Tiongkok memiliki makalah yang paling banyak diterbitkan sementara Amerika Serikat memiliki tingkat kutipan rata-rata tertinggi.
Kata kunci berfrekuensi tinggi yang terkait dengan biochar mencakup “pertumbuhan”, “kualitas”, “salinitas”, “tekanan garam”, “hasil”, “air”, “perubahan”, dan “reklamasi”, yang menyiratkan bahwa kata kunci utama adalah biochar. peningkatan produktivitas, restorasi ekologi, peningkatan nutrisi tanah yang terkena dampak garam menggunakan biochar adalah fokus penelitian. Selain itu, kata kunci lain seperti “karbon organik”, “mineralisasi karbon”, dan “emisi N2O ” juga muncul secara bertahap, yang menunjukkan potensi penerapan biochar dalam penyerapan karbon tanah dan mitigasi gas rumah kaca (GRK). Khususnya, produksi biochar dari limbah biomassa (misalnya kayu, jerami, dan pupuk kandang) dan penerapannya pada tanah merupakan strategi penghilangan karbon dioksida (CDR) berbasis lahan yang disetujui oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim. Oleh karena itu, biochar memiliki potensi besar dalam penyerapan karbon dan mitigasi GRK sebagai alat karbon negatif untuk meningkatkan kesehatan tanah yang terkena dampak garam. Namun, penelitian tertentu menemukan bahwa penggunaan biochar dapat menimbulkan efek negatif pada sifat tanah yang terkena garam dan pertumbuhan. Hasil yang tidak konsisten ini menyoroti ketidakpastian mengenai kinerja biochar dalam memulihkan tanah yang terkena dampak garam. Untuk mendukung pemanfaatan tanah yang terkena dampak garam secara sehat dan berkelanjutan, penting untuk melakukan tinjauan menyeluruh terhadap indikator faktor abiotik dan biotik pada tanah yang diberi biochar. Hal ini akan membantu memastikan bahwa praktik pengelolaan tanah sejalan dengan prinsip-prinsip ini.